Yudisium Santri Kelas 6 Dan Pengabdian
Oleh : Ust. H. Mukhlis Setiawan, S.S.I ( Kabid Pendidikan dan Pengajaran )
Jika ada awal, pasti ada akhir. Demikian sunatullah. Enam tahun atau empat tahun santri belajar menimba Ilmu di pondok pesantren. Dan di tahun ke enam atau ke empat pula mereka mengikuti dan melewati program ujian akhir sebagai tanda akhir masa belajar. Kemudian berakhir dengan yudisium.
Untuk sampai ke program yudisium butuh pengorbanan dan perjuangan. Beberapa program sebelumnya harus di lewati. Paper, praktik mengajar, ujian lisan, ujian tulis, tahfid, dan Imamah. Lelahnya fisik dan fsikis dirasakan. Sehingga santri kelas 6 baru menyadari makna "Hidup itu perjuangan. Tanpa perjuangan bukan hidup namanya".
Yudisium artinya pengumuman kelulusan. Kelulusan dari masa belajar formal. Yudisium bagi santri kelas 6 ibarat anak elang yang akan di lepas oleh induknya. Anak Elang yang di lahirkan di atas tebing tinggi ketika sampai pada masanya harus di lepas, maka dia harus terbang. Pilihannya hanya dua. Bagi anak elang yang memiliki mental keyakinan dan kepercayaan diri, maka ketika terbang dari tebing, dengan tenang dia akan mengepakan sayapnya sehingga terbang dengan selamat. Tapi bagi anak elang yang tidak memiliki kepercayaan diri dan ragu, maka ketika terbang dari tebing dia tidak bisa mengepakan sayapnya lalu jatuh ke bawah. Mati.
Demikian perumpamaan santri yang dinyatakan lulus dan akan di lepas sebagai guru pengabdian. Bagi santri yang memiliki mental keyakinan dan kepercayaan diri bahwa dia sudah dibekali segalanya oleh pesantren, maka dia akan siap dan sukses di tempat pengabdianya. Bermanfaat. Tapi bagi santri yang di lepas namun tidak memiliki mental kepercayaan diri dan ragu dengan potensi yang dimiliki, maka dia akan gagal di tempat pengabdiannya. Tidak bermanfaat.
Di pesantren, pengabdian adalah keniscayaan. Fase untuk mengajar setelah belajar. Karena itu tujuan santri mencari ilmu seperti termaktub dalam at-taubah 122, liyatafaqqohu fiddin (mendalami ilmu agama) dan liyundziruu qaumahum (mengajar umat) . Dan fase untuk beramal setelah berilmu. Karena esensi ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk ibadah dan amal. Yudisium adalah batu loncatan untuk pengabdian.
Pengabdian membutuhkan perjuangan. Berjuang di tempat baru. Suasana baru. Dengan problematika baru. Maka mental guru pengabdian membantu banyak sukses atau tidaknya dalam mengabdi.
"Mental lebih menentukan dari Ilmu. Ilmu itu jasanya 15 persen untuk membuat sukses. Selebihnya ditentukan oleh mental. Yang menentukan suksesnya seseorang adanya mental". Demikian perkataan KH Imam Zarkasyi. Inilah rahasia kenapa pendidikan pesantren lebih orientasi pada mental skill. Karena di kehidupan nyata, mental lebih menentukan. Walau tidak menafikan bahwa sukses merupakan andil dari ilmu, skill, dan mental.
Sebuah cerita inspiratif tentang seekor gajah yang dari sejak kecil kakinya diikat rantai, kemudian putus asa tidak mampu melepaskannya maka sampai dewasa pun dia tidak akan mampu membebaskannya. Walau bobot badannya bertambah besar. Kenapa? Karena pikiran tidak mampu telah membelenggu pikirannya.
Maka seyogyanya bagi guru pengabdian jangan berkecil hati. Percaya diri dan yakin diri adalah kuncinya. Walau tidak boleh berbesar diri. Sombong namanya. Sikap ragu, pasrah, putus asa dan pikiran yang membelenggu menjadi faktor tidak mau bergerak. Dan akhirnya gagal.
Fajrussalam, senin 23 Syawal 1441/15 Juni 2020