Logo Pondok Pesantren Fajrussalam
Artikel
26/Oct/2024

Adab Kepada Guru (Bag. 2)

Oleh : Ust. H. Mukhlis Setiawan, S.S.I ( Kabid Pendidikan dan Pengajaran )

Ada salah satu orangtua dari santri yang sedang belajar di salah satu lembaga pendidikan pesantren yang tanpa sadar membicarakan gurunya dengan kalimat yang merendahkan. Padahal anaknya itu sendiri dididik dan diajari juga oleh guru yang sedang dia rendahkan.
Fenomena semacam ini tentu bukan hal yang baru, bahkan sering terjadi. Dan tidak terjadi kepada salah satu lembaga pendidikan saja tapi ke berbagai lembaga pendidikan, termasuk Pondok Pesantren.

Ini sungguh miris. Di tengah harapan orangtua yang ingin memiliki anak yang sholeh, sukses, bermanfaat, dan tentunya menjadi investasi akhirat bagi orangtua. Tapi di sisi lain orangtua seperti ini sedang meniti jalan yang salah. Dan siapapun yang melihat atau mendengar fenomena seperti di atas hendaknya mengelus dada dengan disertai untuk memberikan pemahaman kepada orangtua yang bersangkutan bahwa seyogyanya menjaga adab kepada guru bukan hanya kewajiban anaknya yang sedang belajar ilmu agama tapi juga dukungan orangtua secara bersama-sama.

Bila kita menelusuri perjalanan hidup orangtua di zaman dulu (salafussholeh), kita akan mendapatkan bagaimana perhatian mereka dengan adab anak-anaknya melebihi perhatian mereka dengan ilmu dan pengetahuan anak-anaknya. Sampaikan orangtua di zaman salafussholeh senantiasa menanamkan wasiat dan nasehat penting untuk anak-anaknya sebelum mereka diberangkatkan mencari ilmu :

يا بنيّ، لأن تتعلّم باباً من الأدب أحبّ إليّ من أن تتعلّم سبعين باباً من أبواب العلم

"Anakku, engkau belajar satu bab dari adab lebih Aku sukai daripada engkau belajar tujuh puluh bab ilmu"

Salah satu orangtua salafussholeh, Al-Habib bin Asy-syahid berkata kepada anaknya :

"Anakku, dekati ahli fiqih dan ulama, belajarlah dari mereka, ambilah adab dari mereka. Karena hal itu lebih disukai dari banyak hadits".

Sebuah contoh kisah teladan yang bisa menjadi inspirasi untuk orangtua di akhir zaman bagaimana seorang khalifah (presiden) Harun Ar-Rasyid menanamkan kepada kedua putranya Al-Amin dan Al-Ma'mun untuk belajar adab dan menjaga adab kepada gurunya, imam Al-Kisai. Al-Amin dan Al-Ma'mun setiap hari senantiasa berlomba untuk memakaikan terompah gurunya, sehingga imam Al-Kisai berkata kepada keduanya : "Satu orang memakaikan satu terompah".
(المنهج السوي : ٢٢٠).

Juga kisah teladan lainnya tentang khalifah Harun Ar-Rasyid ketika mengirimkan anaknya kepada imam Al-Asmu'i untuk diajarkan ilmu dan adab. Pada suatu hari khalifah Harun Ar-Rasyid melihat imam Al-Asmu'i sedang berwudlu dan mencuci kakinya, sementara anaknya hanya mengucurkan air ke kaki gurunya saja (Al-Asmu'i). Maka khalifah Harun Ar-Rasyid menegur imam Al-Asmu'i tentang perilaku anaknya tersebut seraya berkata : "Aku mengirimkan anakku kepadamu untuk engkau ajari ilmu dan adab, kenapa engkau tidak perintahkan dia untuk mengucurkan air dengan satu tangannya dan mencuci kakimu dengan tangan lainnya?".
(تعليم المتعلّم : ٥٠)

Demikian orangtua salafussholeh (sampai level presiden) menanamkan adab kepada anak-anaknya, karena adab kepada guru adalah kunci terbukanya ilmu dan pemahaman, serta sumber manfaatnya ilmu. Imam Ali bin Hasan Al-Athas berkata :

إنّ المحصول من العلم والفهم والنور - أعني الكشف للحجُب - على قدر الأدب مع الشيخ، وعلى قدر مايكون كبَرُ مقداره عندك يكون لك ذلك المقدار عند الله من غير شك

"Memperoleh ilmu, pemahaman, dan cahaya (maksudnya terbuka hijab-hijab batinnya) adalah sesuai kadar adabmu bersama gurumu. Kadar besarnya gurumu di hatimu, maka demikian pula kadar besarnya dirimu di sisi Allah tanpa ragu" (المنهج السوي : ٢١٩)

Diantara menjaga kadar adab kepada guru adalah orangtua senantiasa menanamkan kepada anaknya untuk senantiasa merendahkan hati dan beradab kepada guru. Imam Nawawi رحمه الله berkata :

ينبغي للمتعلّم أن يتواضع لمعلّه ويتأدّب معه وإن كان أصغرَ منه سنّا وأقلَّ شهرةً ونسباً وصلاحاً. فبتواضعه يدرك العلم

"Seyogyanya seorang pelajar/santri untuk senantiasa merendahkan hati kepada gurunya dan beradab bersama nya, walaupun gurunya lebih muda usianya, lebih sedikit popularitasnya, lebih rendah nasabnya, dan lebih kurang kesolehannya. Maka dengan rendah hatinya dia akan mendapatkan ilmu" (التبيان في آداب حملة القرآن : ٣٧)

Juga menghindari dari menyakiti perasaan (hati) gurunya, karena barangsiapa yang menyakiti hati gurunya dia akan terhalang dari keberkahan ilmu dan tidak bisa memanfaatkan ilmunya kecuali sedikit. Imam Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad menyampaikan :

وأضرّ شيئ على المريد تغيّر قلب الشيخ عليه. ولو اجتمع على إصلاحه بعد ذلك مشايخ المشرف والمغرب لم يستطيعوه إلا أن يرضى عنه شيخه

"Paling berbahaya bagi seorang murid adalah berubahnya hati gurunya kepadanya. Jika seandainya berkumpul seluruh guru di timur dan di barat untuk memperbaikinya maka semuanya tidak akan mampu kecuali gurunya memaafkannya" (آداب سلوك المريد : ٥٤)

Abu Sahl As-ho'luki رحمه الله berkata :

عقوق الوالدين تمحوه التوبة، و عقوق الأستاذين لا يمحوه شيئٌ البتّة.

"Durhaka kepada orangtua bisa dihapus oleh taubat, sedangkan dosa kepada guru tidak bisa dihapus oleh apa pun"
(تهذيب الأسماء واللغات : ٢، ٢٤٣)

Fajrussalam, 29 September 2020