Logo Pondok Pesantren Fajrussalam
Artikel
26/Oct/2024

Refleksi Hari Santri ; Peran Santri Untuk Negeri

Oleh : Ust. H. Mukhlis Setiawan, S.S.I ( Kabid Pendidikan dan Pengajaran )

Nama santri mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Santri yang di identikan dengan seseorang yang belajar ilmu agama di pesantren, dengan ciri khas berpakaian sarung dan peci, merupakan bagian dari identitas santri Indonesia.

Nama santri tidak bisa di pisahkan dari sosok guru yang mengajarinya ilmu agama dan pesantren sebagai tempat dia belajar. Nurcholis Madjid dalam buku Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (1999), berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa yaitu cantrik yang bermakna "orang atau murid yang taat mengikuti gurunya". Dan dalam Wikipedia, secara umum santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, dan biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata santri mengandung dua makna. Pertama, orang yang mendalami ilmu agama. Kedua, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang sholeh. Dan kedua makna ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat At-taubat ayat 120 tentang tugas santri.

Setiap memasuki bulan oktober banyak kegiatan yang bertemakan tentang santri dan ke-santri-an yang diselenggarakan, baik oleh pesantren atau kementrian agama. Hal ini tentu seiring dengan peringatan Hari Santri Nasional, yang berdasarkan Keppres no 22 tahun 2015 di tetapkan tanggal 22 oktober.

Dari tahun ke tahun sejak ditetapkannya, tema santri selalu berubah. Tahun 2017, mengangkat tema "Wajah Pesantren Wajah Indonesia". Tahun 2018, "Bersama Santri Damailah Negeri". Tahun 2019, "Santri Indonesia Untuk Perdamaian Dunia". Dan Tahun 2020, mengangkat tema "Santri Sehat Indonesia Kuat".

Penetapan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 oktober, merupakan salah satu bentuk penghargaan negara kepada peran ulama dan santri yang merujuk pada sejarah tercetusnya 'Resolusi Jihad' yang di deklarasikan oleh KH Hasyim Asy'ari bersama ulama NU lainnya se-Jawa dan Madura di Surabaya.

Resolusi Jihad merupakan fatwa kewajiban berjihad demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai respon terhadap NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang mencoba menjajah kembali Indonesia. Adapun isi 'Resolusi Jihad' itu sendiri menegaskan bahwa hukum membela tanah air adalah fardhu ain bagi setiap Muslim Indonesia. Tak hanya itu, dalam 'Resolusi Jihad' juga ditegaskan bahwa Muslim yang berada dalam radius 94 km dari pusat pertempuran ikut berperang melawan Belanda. Pengaruh 'Resolusi Jihad' terlihat dari heroiknya para ulama, santri, dan warga dalam berperang melawan Belanda di pertempuran 10 November 1945, yang kemudian di tetapkan dan di peringati sebagai Hari Pahlawan.

Fakta sejarah perjuangan ulama dan santri dalam mengusir penjajah, memerdekakan negara, dan mempertahankan negara sudah tidak di ragukan.

Jakarta, sebagai ikon negara karena statusnya Ibu Kota adalah hasil dari jasa seorang ulama yang juga salah satu wali sanga, yaitu sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah. Dia bersama menantunya Raden Fatahillah atau Faletehan berhasil mengusir penjajah Portugis dari Sunda Kepada, 22 Juni 1527/22 Ramadhan 933. Sebagai wujud syukur kemenangan, maka dirubahlah nama Sunda Kelapa dengan Fathan Mubina (kemenangan paripurna) atau Jayakarta. Kemudian Jayakarta di rubah namanya dengan Jakarta.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang di bacakan oleh Soekarno pada hari Jum'at, 17 Agustus 1945/9 Ramadhan 1364, merupakan hasil konsultasi dan restu dari beberapa ulama terkemuka di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Bahkan istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang akhir-akhir ini banyak di klaim oleh beberapa orang atau golongan sebagai orang yang paling cinta NKRI, ternyata adalah jasa dari seorang ulama, intelektual, dan politikus yang saat itu menjabat sebagai Perdana Mentri, yaitu Muhammad Nasir. Melalui 'Mosi Integral' tanggal 17 Agustus 1950, Muhammad Nasir berhasil menggabungkan kembali wilayah Indonesia dalam wadah NKRI yang sebelumnya di pecah menjadi negara-negara bagian yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

Begitu besar peran ulama dan santri bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, sehingga seorang E.F.E Douwes Dekker Danudirdjo Setiabudi memberikan kesimpulan "Jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan"

Maka, Peringatan Hari Santri seyogyanya menjadi refleksi (renungan) untuk para santri menghidupkan kesadaran sejarah akan peran perjuangan ulama dan santri untuk negeri, baik dalam mengusir penjajah, memerdekakan bangsa, dan mempertahankannya. Para santri, meminjam istilah Soekarno, "Jangan hanya mampu membaca abunya sejarah tapi tidak bisa menangkap apinya sejarah".

Selamat Hari Santri Nasional
"Santri Sehat Indonesia Kuat"

Fajrussalam, 21 oktober 2020